Sunday 10 February 2013

Budayawan Sunda: Kita Butuh Pemimpin Berbudaya

Budayawan Sunda Dasep Arifin, yang akrab disapa "Abah Dasep" mengatakan, seorang pemimpin ataupun calon pemimpin harus berbudaya, dan memahami nilai-nilai adiluhung kearifan lokal dalam sebuah masyarakat.

"Pemimpin adalah teladan masyarakat. Seorang pemimpin atau calon pemimpin harus berbudaya. Kita butuh pemimpin berbudaya, bukan budaya pemimpin atau budaya penguasa," katanya di Bogor, Jawa Barat, Senin.

Ia mengemukakan, selama ini dirinya nyaris tidak pernah melihat ada pemimpin berbudaya. "Di Bogor, misalnya, selama 66 tahun saya hidup, belum pernah saya lihat ada pemimpin berbudaya," ujarnya.

Menurut dia, selama ini nilai-nilai adiluhung kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur bangsa ini secara perlahan mulai terkikis akibat tergerus perubahan dan perkembangan zaman.

"Fenomena ini perlu difahami dan diwaspadai oleh masyarakat, terutama oleh mereka yang diamanahkan menjadi pemimpin," katanya.

"Seorang pemimpin memiliki tanggung jawab dalam melestarikan budaya," tambah Abah Dasep yang juga "kasepuhan" (sesepuh) di Palataran Pakujajar Sipatahunan.

Abah Dasep mengutarakan, dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, yang berkembang adalah budaya pemimpin atau budaya penguasa, bukan pemimpin berbudaya.

"Kita membutuhkan pemimpin berbudaya, bukan budaya pemimpin atau budaya penguasa," kata dosen tamu budaya Sunda pada sejumlah perguruan tinggi di Indonesia ini.

Empat pilar Ia mengemukakan ada empat pilar yang memiliki tanggung jawab besar dalam pelestarian budaya, yakni seniman, pemerintah, pelaku dunia usaha, dan media massa.

"Kalau empat pilar ini bersinergi, maka budaya akan tegak dengan baik," katanya.

Sementara itu, Abah Wahyu, "guru teupa" atau perajin alat tradisional Kujang Pajajaran dan pemerhati budaya Sunda mengatakan, warisan budaya pada sebuah masyarakat harus dirawat dan dilestarikan dengan baik serta diwariskan secara berkelanjutan.

"Pemimpin memiliki tanggung jawab besar dalam melestarikan budaya adiluhung sebuah masyarakat. Namun, masyarakat pun harus ambil bagian dan peduli, karena tanggung jawab sesungguhnya justru ada pada masyarakat," kata Wahyu.

Sebagai bentuk kepedulian dan komitmen pelestarian budaya Sunda, sejak tahun 1990-an Abah Wahyu menekuni kerajinan Kujang Pajajaran.

Dalam sebulan, Abah Wahyu rata-rata memproduksi ribuan buah Kujang dengan berbagai macam jenis.

Selain itu, ia juga membuat pin Kujang berukuran kecil.

"Konsumen produk saya berasal dari berbagai daerah, tidak hanya dari Jawa Barat, melainkan juga dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sumatera, Kaliamantan hingga Papua. Bahkan 65 persen konsumen merupakan orang non-Sunda," kata Abah Wahyu.

Abah Dasep dan Abah Wahyu beserta sejumlah komunitas pecinta budaya Sunda pada akhir pekan lalu menggelar "Padungdengan: Merenahkeun Bogor dina Kabogoranana, ti Bogor keur Bogor", dalam menyambut Hari Pers Nasional (HPN) 2013, yang dipusatkan di Palataran Pakujajar Sipatahunan, Jalan Loader, Kota Bogor.

Kegiatan yang dimoderatori pegiat Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI) IPB Ahmad Fahir MSi itu selain menghadirkan Abah Dasep sebagai pembicara utama juga mengundang sejumlah narasumber, yakni Abah Wahyu sebagai budayawan Sunda dan perajin Kujang Pajajaran, Bambang Ciras dari Putra Jagat Pasundan (PJP), Ending dari komunitas muda pecinta budaya Sunda, "Cak Nul" selaku perajin bambu, dan Dr Ifan Haryanto MSc mewakili pelaku usaha.(ant/rd)

No comments:

Post a Comment